Senin, 05 Desember 2011

Tembang Sunda Cianjuran: Sejarah Singkat

Tembang Sunda Cianjuran: Sejarah Singkat

Tembang Sunda Cianjuran: BUBUKA

Tembang Sunda Cianjuran: BUBUKA

Tembang Sunda Cianjuran: Kacapi Indung

Tembang Sunda Cianjuran: Kacapi Indung

Kacapi Indung



Dalam penyajian tembang Sunda Cianjuran, salah satu instrumen pokok yang mempunyai peranan penting  adalah  kacapi indung. Begitu besarnya peranan kacapi indung dalam tembang Sunda Cianjuran sehingga dalam penyebutannya digunakan istilah indung[1]. Kacapi indung merupakan jenis alat musik berdawai (chordophone) yang bentuknya menyerupai perahu sampan (Herdini, 2003:15). Oleh karena itu, tidaklah heran apabila banyak orang yang menyebut kacapi indung sebagai kacapi parahu, karena kemiripan bentuknya dengan perahu.

Foto0135.jpg
Gambar 2.1. Kacapi Indung

Selain istilah kacapi indung atau kacapi parahu, penamaan lain terhadap waditra ini, yakni: kacapi gelung dan kacapi tembang. Penamaan kacapi gelung didasarkan pada kemiripan bentuk dari ujung kiri dan kanan kacapi dengan gelung atau sanggul yang biasa digunakan perempuan (Wahyudin, 2007:86). Sedangkan penamaan kacapi tembang menurut Indra,[2] pada saat penembang melantunkan lagu-lagu mamaos kacapi ini mengiringinya dengan tabuhan pasieupan,[3] dengan cara mengikuti nada-nada lagu mamaos yang dibawakan, maka dikatakan bahwa kacapi milu nembang (ikut bernyanyi), dan disebutlah kacapi tembang.[4]
Dilihat dari bentuknya, kacapi indung terdiri atas beberapa bagian yang menunjukkan ciri khasnya, dan yang membedakan dengan kacapi lainnya.[5] Kacapi indung dilihat dari bagian depan (dari arah posisi penonton) terdapat 18 bulatan panjang yang disebut dengan pureut. Panjang pureut biasanya sekitar 13-15 cm, atau tergantung kebutuhan pemakainya. Puret ini berfungsi sebagai tempat mengikatkan dawai yang sekaligus pula berfungsi untuk menyetem laras kacapi indung dengan cara memutarkan pureut tersebut ke arah kanan (untuk mengendurkan tegangan dawai) atau ke kiri (untuk mengencangkan tegangan dawai). Adapun dawai yang terdapat pada kacapi indung berjumlah 18, dengan ukuran yang berbeda-beda. Herdini (ibid, hal. 18) menjelaskan besar kawat kacapi indung biasanya mulai dari ukuran 0,4 mm sampai dengan 0,9 mm. Semua dawai kacapi indung terbuat dari kuningan, bahan dawai yang terbuat dari kuningan memiliki karakter bunyi yang lembut. Dawai kacapi indung ini baru bisa berfungsi apabila sudah ditopang oleh penyangga yang dinamakan inang atau susu (Wiradiredja. Dkk, ibid, hal. 19). Inang atau susu pada kacapi indung berbentuk piramid. Dalam praktiknya, inang bisa juga digunakan untuk penyeteman dengan cara menggesernya ke kiri atau ke kanan.[6]

                                      Foto0139.jpgFoto0137.jpg 
      Gambar 2.2. Pureut                                            Gambar 2.3. Menyetem dawai dengan memutarkan pureut           


Foto0140.jpg                                         Foto0142.jpg
Gambar 2.4. Inang atau Susu                                 Gambar 2.5. Menyetem dawai dengan menggeser inang

Pada bagian bawah kacapi indung terdapat lubang resonator. Lubang resonator ini selain berfungsi untuk menghasilkan bunyi lebih nyaring, juga berfungsi untuk jalan masuknya mengikatkan dawai ke bagian dalam pureut. Pureut bagian dalam dimasukkan ke dalam lubang penyangga yang disebut cukang beurit. Dawai yang merupakan sumber bunyi utama diikatkan pada pureut dan paku atau baut di sebelah kanan (posisi pemain kacapi). Pada bagian atas baut terdapat tumpangsari yang fungsinya untuk menopang dawai. Tinggi tumpang sari biasanya sejajar dengan inang yaitu sekitar 4 cm dari papan bagian atas kacapi.[7]

Foto0148.jpg                                         Foto0147.jpg
Gambar 2.6. Lubang Resonator                             Gambar 2.7. Pureut bagian dalam


                                         Foto0145.jpg                                                                                  Gambar 2.8. Tumpang Sari dan Baut                                  
                                                                                                       


[1] Dalam bahasa Sunda, istilah indung berarti ibu atau orang yang melahirkan, mengasuh, dan membesarkan anaknya. Sebagai perananya itu (sebagai indung), maka kacapi indung memiliki peranan yang sangat besar, yaitu memimpin jalannya pertunjukan tembang Sunda Cianjuran dari awal hingga akhir pertunjukan (Nugraha, 2004:3).
[2] Indra, merupakan pemain kacapi indung di padepokan Pancaniti Kab. Cianjur yang sampai saat ini masih eksis sebagai pemain kacapi indung generasi muda di Kabupaten Cianjur.
[3] Tabuhan pasieupan selanjutnya akan dijelaskan pada sub judul Teknik Garap.
[4] Indra (33), wawancara di Cianjur pada tanggal, 1 November 2009.
[5] Di tatar Sunda kacapi banyak sekali jenisnya, yang satu sama lain memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda-beda. Salah satunya, kacapi pantun, kacapi jentreng, dan kacapi siter.
[6] Penyeteman dawai dengan cara menggeser inang ini merupakan cara penyeteman yang sudah lazim dilakukan para seniman kacapi indung. Penyeteman seperti ini biasanya dilakukan apabila terdapat dawai yang nadanya sedikit sumbang.
[7] Herdini, ibid.

Minggu, 04 Desember 2011

Sejarah Singkat


Tembang Sunda Cianjuran, merupakan seni yang secara musikalitas terdiri atas perpaduan dua bentuk unsur seni, yakni sekar (vokal) dan gending (instrumental). Tak heran, jika tembang Sunda Cianjuran diklasifikasikan ke dalam bentuk sajian sekar gending.[1] Sekar dibangun suara penembang, dan gending dibangun bunyi tabuhan kacapi indung, suling, rincik, dan atau rebab, sehingga menjadi satu kesatuan utuh yang saling melengkapi ketika sajian tembang Sunda Cianjuran berlangsung.
Tembang Sunda Cianjuran di tempat kelahirannya, yaitu di Cianjur, pada mulanya dikenal dengan sebutan Tembang Pajajaran (Su’eb, 1997:28). Penamaan ini terjadi ketika R.A.A. Kusumaningrat menjadi bupati Cianjur (1834-1864). Beliau berserta nayaga lebet menciptakan lagu-lagu yang diolah dari seni pantun menjadi dua kelompok lagu yang kini dikenal sebagai wanda papantunan dan jejemplangan (Nugraha, 2010:107-109). Teks lagu-lagu yang dibawakan sama dengan teks cerita pantun, bertemakan seputar kerajaan Pajajaran. Tak heran jika kesenian yang baru muncul tersebut dikenal dengan sebutan Tembang Pajajaran, karena seluruh teks lagu menceritakan tokoh, situasi, dan kondisi di zaman kerajaan Pajajaran.
Penyebutan seni Tembang Pajajaran berganti menjadi seni mamaos setelah Bupati Prawiradiredja II (1864-1910) menggantikan ayahnya menjadi Bupati Cianjur (Wiratmadja, 1996:125). Pada masa itu, repertoar lagu Tembang Pajajaran semakin kaya dengan lahirnya lagu-lagu yang diolah dari seni degung (wanda dedegungan), tembang rancag (wanda rarancagan), dan kakawen wayang golek (wanda kakawen). Teks yang dibawakan tidak lagi menceritakan kerajaan Pajajaran, bertambah dengan tema percintaan, hubungan dengan Tuhan, alam, dan lingkungan. Pemilihan istilah mamaos di masa itu, dipandang mewakili tema kelompok lagu yang ada. Secara etimologi mamaos berasal dari  kata maos, atau kata lain dari maca (membaca). Kata maca (membaca) menjadi maos mengandung arti bahwa banyak yang harus dibaca, tidak hanya membaca tulisan saja (Natamihardja, 2009:56). Dengan begitu, pemilihan nama mamaos untuk mengganti nama Tembang Pajajaran didasari pemahaman dan kenyataan yang terjadi pada perkembangan seni Tembang Pajajaran, di mana lirik yang dibawakan tidak lagi berorientasi ‘membaca’ ke masa silam (mamaos ka tukang ka jaman Pajajaran), tetapi juga membaca mamaos’ ka diri sorangan (membaca diri sendiri), mamaos ka satungkebing alam (membaca alam), mamaos jeung Gusti Allah (hubungan dengan sang pencipta), dan ‘membaca’ sesama manusia (Hablumminannas).[2]
Sampai saat ini, penyebutan mamaos terhadap kesenian ini masih kental  di kalangan seniman Cianjur. Walaupun masyarakat pada umumnya lebih mengenal kesenian ini dengan sebutan tembang Sunda Cianjuran. Istilah tembang Sunda Cianjuran mulai digunakan setelah diadakannya Seminar Tembang Sunda pada tahun 1976 yang diikuti oleh para tokoh, baik dari kalangan seniman, budayawan, maupun masyarakat. Secara harfiah tembang Sunda Cianjuran dapat diartikan sebagai ”seni tembang gaya Cianjur”. Walaupun istilah tembang Sunda Cianjuran sudah cukup memasyarakat, tetapi tidak sedikit para seniman tembang Sunda Cianjuran yang menyebut kesenian ini dengan istilah tembang Sunda atau Cianjuran saja (Wiradiredja,dkk. 2003:7).


[1] Sekar Gending sebagai istilah yang digunakan untuk menunjukkan penyajian karawitan yang di dalamnya terdapat unsur vokal dan instrumental (Suparli, 2009: 150).
[2] Toto Sumadipradja (60), wawancara di Bandung, tanggal 11 Januari 2010.

Sabtu, 03 Desember 2011

BUBUKA


Assalamualaikum..
Sampurasun dulur..
Dalam blog ini saya akan mencoba berbagi informasi tentang sebuah genre kesenian Sunda, yaitu: "Tembang Sunda Cianjuran". Informasi tersebut saya dapat dari literatur, sumber-sumber primer yang pernah meneliti tentang kesenian tersebut, dan beberapa tokoh/seniman yang ahli dalam bidang tersebut. Mudah-mudahan blog ini bisa menjadi sebuah informasi bagi para pembaca semua, dan tentunya saya mengharapkan saran-saran atau masukan-masukan yang mungkin bisa lebih menyempurnakan bahasan yang ada dalam blog ini.
Terima Kasih