Tembang Sunda Cianjuran, merupakan seni yang secara musikalitas terdiri atas perpaduan dua bentuk unsur seni, yakni sekar (vokal) dan gending (instrumental). Tak heran, jika tembang Sunda Cianjuran diklasifikasikan ke dalam bentuk sajian sekar gending.[1] Sekar dibangun suara penembang, dan gending dibangun bunyi tabuhan kacapi indung, suling, rincik, dan atau rebab, sehingga menjadi satu kesatuan utuh yang saling melengkapi ketika sajian tembang Sunda Cianjuran berlangsung.
Tembang Sunda Cianjuran di tempat kelahirannya, yaitu di Cianjur, pada mulanya dikenal dengan sebutan Tembang Pajajaran (Su’eb, 1997:28). Penamaan ini terjadi ketika R.A.A. Kusumaningrat menjadi bupati Cianjur (1834-1864). Beliau berserta nayaga lebet menciptakan lagu-lagu yang diolah dari seni pantun menjadi dua kelompok lagu yang kini dikenal sebagai wanda papantunan dan jejemplangan (Nugraha, 2010:107-109). Teks lagu-lagu yang dibawakan sama dengan teks cerita pantun, bertemakan seputar kerajaan Pajajaran. Tak heran jika kesenian yang baru muncul tersebut dikenal dengan sebutan Tembang Pajajaran, karena seluruh teks lagu menceritakan tokoh, situasi, dan kondisi di zaman kerajaan Pajajaran.
Penyebutan seni Tembang Pajajaran berganti menjadi seni mamaos setelah Bupati Prawiradiredja II (1864-1910) menggantikan ayahnya menjadi Bupati Cianjur (Wiratmadja, 1996:125). Pada masa itu, repertoar lagu Tembang Pajajaran semakin kaya dengan lahirnya lagu-lagu yang diolah dari seni degung (wanda dedegungan), tembang rancag (wanda rarancagan), dan kakawen wayang golek (wanda kakawen). Teks yang dibawakan tidak lagi menceritakan kerajaan Pajajaran, bertambah dengan tema percintaan, hubungan dengan Tuhan, alam, dan lingkungan. Pemilihan istilah mamaos di masa itu, dipandang mewakili tema kelompok lagu yang ada. Secara etimologi mamaos berasal dari kata maos, atau kata lain dari maca (membaca). Kata maca (membaca) menjadi maos mengandung arti bahwa banyak yang harus dibaca, tidak hanya membaca tulisan saja (Natamihardja, 2009:56). Dengan begitu, pemilihan nama mamaos untuk mengganti nama Tembang Pajajaran didasari pemahaman dan kenyataan yang terjadi pada perkembangan seni Tembang Pajajaran, di mana lirik yang dibawakan tidak lagi berorientasi ‘membaca’ ke masa silam (mamaos ka tukang ka jaman Pajajaran), tetapi juga membaca ‘mamaos’ ka diri sorangan (membaca diri sendiri), mamaos ka satungkebing alam (membaca alam), mamaos jeung Gusti Allah (hubungan dengan sang pencipta), dan ‘membaca’ sesama manusia (Hablumminannas).[2]
Sampai saat ini, penyebutan mamaos terhadap kesenian ini masih kental di kalangan seniman Cianjur. Walaupun masyarakat pada umumnya lebih mengenal kesenian ini dengan sebutan tembang Sunda Cianjuran. Istilah tembang Sunda Cianjuran mulai digunakan setelah diadakannya Seminar Tembang Sunda pada tahun 1976 yang diikuti oleh para tokoh, baik dari kalangan seniman, budayawan, maupun masyarakat. Secara harfiah tembang Sunda Cianjuran dapat diartikan sebagai ”seni tembang gaya Cianjur”. Walaupun istilah tembang Sunda Cianjuran sudah cukup memasyarakat, tetapi tidak sedikit para seniman tembang Sunda Cianjuran yang menyebut kesenian ini dengan istilah tembang Sunda atau Cianjuran saja (Wiradiredja,dkk. 2003:7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar